3 Masalah Dunia Usaha di Indonesia

Dari buku 9 Pertanyaan Fundamental (strategi membangun kekayaan tanpa riba) karya Heppy Trenggono disebutkan bahwa, Secara kasat mata jelas terlihat bahwa Jepang adalah bangsa besar, bangsa yang kaya. Dalam kondisi terpuruk karena krisis ekonomi global atau bencana alam, misalnya, karakter mereka tetap kaya. Faktanya, hanya orang kaya yang mampu bermain angka besar dan bisa mengelolanya dengan jitu. Sebaliknya, dengan prihatin harus kita akui bahwa anggaran setahun yang nyaris sepertujuh dana dadakan adalah ciri bangsa miskin. Bangsa kecil hanya akan berani bermain angka kecil. Bangsa miskin bahkan terlalu takut sekedar untuk membayangkan angka yang besar. Hal ini melahirkan masalah bagi dunia usaha Indonesia.
3 Masalah Dunia Usaha di Indonesia
Ada 3 hal mendasar yang menjadi masalah dunia usaha di Indonesia:
  1. Mindset entrepreneurship masih sangat rendah.
    Entrepreneurship seharusnya tidak hanya dimiliki oleh pengusaha tetapi oleh semua orang, terutama pemerintah. Hanya pemerintah atau pemimpin yang entrepreneur saja yang tahu cara membangun kekayaan negaranya. Entrepreneurship yang rendah menyebabkan pertumbuhan pengusaha di Indonesia sangat lamban. Dorongan dan iklim untuk menjadi pengusaha di Indonesia berbeda dengan negara-negara kaya seperti Singapura atau Amerika. Di China, pemerintah mendorong agar setiap rumah tangga menghasilkan satu produk. Dan pemerintah campur tangan penuh memasarkan produk itu. Bandingkan dengan Indonesia ketika seseorang akan memulai sebuah usaha. Proses yang harus dijalani begitu rumit, bahkan mahal tak jarang pakai pungutan liar. Ketika usaha sudah berjalan, pengusaha dibiarkan bertarung sendiri di tengah pasar bebas.
  2. Angka kejatuhan bisnis yang tinggi.
    Berdasarkan data yang ada di Amerika, dari 100 bisnis yang tumbuh hanya 4% saja yang bisa sampai berumur 10 tahun. 50% jatuh pada tahun kedua, 80% bangkrut pada tahun kelima. Itu terjadi di negeri yang pemerintahnya sangat mendorong dunia usaha, dan memiliki prosentase pengusaha sebanyak 11%. Di Indonesia angka kejatuhan bisnis lebih tinggi lagi karena banyak faktor. Bukan hanya faktor pribadi pengusahanya, tapi juga faktor eksternal yang menekan kehidupan bisnis. 70% pebisnis di Indonesia financially incompetent. Padahal, menguasai keuangan adalah keterampilan pokok yang harus dimiliki oleh seorang pebisnis setelah menjual. Kultur pebisnis di Indonesia yang belum terbiasa membicarakan masalahnya juga berpengaruh pada kejatuhan bisnis. Berbicara persoalan dalam bisnis itu dianggap aib. Padahal di negara maju, masalah bisnis adalah hal biasa untuk dibicarakan. Hasilnya, kian banyak pebisnis belajar dari kegagalan pebisnis lain, dan pebisnis yang gagal juga segera memperoleh dukungan dari pebisnis lain.
  3. Tidak jelas nilai yang dibela.
    Ketidakjelasan ini berpengaruh pada sikap dan keberpihakan warga negara terhadap sesuatu, termasuk pada produk-produk lokal. Tidak adanya pembelaan terhadap produk Indonesia menyebabkan banyak yang mati. Seharusnya, warga negara Indonesia didorong untuk membeli sesuatu bukan karena murah, bukan karena lebih baik, tetapi karena sesuatu itu buatan Indonesia.
Sebenarnya, jumlah kecil anggaran belanja Indonesia tak sebanding dengan potensi sumber daya manusia dan alamnya. Dengan potensi itu, kita sangat bisa menjadi bangsa yang kaya dalam arti yang sebenarnya. Bayangkan, penduduk yang sangat banyak adalah potensi pasar yang luar biasa, sementara kondisi alam Indonesia juga berkekuatan dahsyat. Belum lagi jumlah penduduk yang besar merupakan modal yang luar biasa dahsyatnya. []